Becak merupakan alat untuk mengangkut orang dan/atau barang dalam jumlah
kecil, menggunakan dasar sepeda yang dimodifikasi menjadi kendaraan
beroda tiga yang dilengkapi dengan kabin penumpang. Becak direncanakan
untuk mengangkut 2 orang penumpang, tetapi terkadang digunakan untuk
mengangkut sampai 4 orang. Becak kemudian dipermodernisasi yang
diperlengkapi dengan motor penggerak, menjadi becak bermotor.
Awal perkembangan becak

Becak Jepang.1897
Becak yang didorong di Jepang
Ternyata asal-usul becak dari Jepang
[1].
Munculnya kendaraan yang ditarik dengan tenaga manusia itu, untuk
pertama kalinya hanya kebetulan saja. Tahun 1869, seorang pria Amerika
yang menjabat pembantu di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jepang,
berjalan-jalan menikmati pemandangan Kota Yokohama. Suatu saat ia
berpikir, bagaimana cara istrinya yang kakinya cacat bisa ikut
berjalan-jalan?. Tentu diperlukan sebuah kendaraan. Kendaraan itu,
pikirnya, tidak usah ditarik kuda karena hanya untuk satu penumpang
saja. Kemudian ia mulai menggambar kereta kecil tanpa atap di atas
secarik kertas. Rancangan tersebut ia kirimkan kepada sahabatnya
[2],
Frank Pollay. Pollay membuatnya sesuai rancangan Goble lalu membawanya
ke seorang pandai besi bernama Obadiah Wheeler. Jadilah becak.
Orang-orang Jepang yang melihat kendaraan pribadi yang ditarik
manusia itu, menamakannya "Jinrikisha" (人力車, 人 jin = orang, 力 riki =
tenaga, 車 sha = kendaraan), yang berarti "kendaraan tenaga manusia" .
Penarik
jinrikisha biasanya diberi upah tiap minggu. Lama-lama,
jinrikisha
menarik perhatian masyarakat Jepang, khususnya para bangsawan. Pada
tahun 1950-an becak yang ditarik manusia ini menghilang dari bumi Jepang
[3].
Perkembangan becak ke Tiongkok
Pada tahun 1800-an,
jinrikisha akhirnya sampai ke telinga masyarakat di Tiongkok. Hingga dalam waktu singkat,
jinrikisha dikenal sebagai kendaraan pribadi kaum bangsawan dan kendaraan umum. Kendaraan ini (dalam bahasa Inggris) diberi nama
rickshaw. Sementara penghelanya disebut
hiki. Tapi, lama-lama para pemerhati kemanusiaan di Tiongkok iba melihat para
hiki yang kerja bagaikan kuda itu. Jadi mulai 1870,
rickshaw dilarang beroperasi di seluruh jalan-jalan di negeri Tiongkok. Sementara
jinrikisha di Jepang sebelumnya sudah lama dilarang.
Perkembangan lebih lanjut
Pada tahun 1930-an berkembang di India, Pakistan dan awal 1940-an
becak mulai dikenal di Singapura, Indonesia dan negara-negara Asia
Tenggara lainnya. Berbeda dengan
jinrikisha dan rickshaw yang
beroda dua dengan ban mati, becak yang dikembangkan di Asia Tenggara
sudah lebih modern. Rodanya tiga dan menggunakan ban angin,
mengemudikannya dikayuh dengan kedua kaki. Becak tersebut berkembang
dengan cepat karena dirasakan manfaatnya besar bagi orang kaya setelah
itu.
Sama seperti Awal mula becak
[1],
tak jelas juga kapan becak dikenal di Indonesia. Lea Jellanik dalam
Seperti Roda Berputar, menulis becak didatangkan ke Batavia dari
Singapura dan Hongkong pada 1930-an. Jawa Shimbun terbitan 20 Januari
1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia Akhir
1930-an. Ini diperkuat dengan catatan perjalanan seorang wartawan Jepang
ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Makassar. Dalam catatan
berjudul “Pen to Kamera” terbitan 1937 itu disebutkan, becak ditemukan
orang Jepang yang tinggal di Makassar, bernama Seiko-san yang memiliki
toko sepeda. Karena penjualan seret, pemiliknya memutar otak agar
tumpukan sepeda yang tak terjual bisa dikurangi. Dia membuat kendaraan
roda tiga, dan terciptalah becak.
Perkembangan di Jawa
Becak yang beroperasi didepan Kedutaan Inggris di Jakarta, 1986
Becak
[2](dari
bahasa Hokkien: be chia “kereta kuda”) adalah suatu moda transportasi
beroda tiga yang umum ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian Asia.
Kapasitas normal becak adalah dua orang penumpang dan seorang pengemudi.
Masuk ke Indonesia
[3]
pertama kali pada awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa
mengangkut barang. Di tahun 1937, demikian tertulis dalam Star Weekly,
becak dikenal dengan nama "roda tiga" dan kata betjak/betja/beetja baru
digunakan pada 1940 ketika becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum.
Awalnya pemerintah kolonial Belanda
[4]
merasa senang dengan transportasi baru ini. Namun belakangan pemerintah
melarang keberadaan becak karena jumlahnya terus bertambah,
membahayakan keselamatan penumpang, dan menimbulkan kemacetan.
Jumlah becak justru meningkat pesat ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942
[5].
Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap penggunaan bensin serta
larangan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan becak sebagai
satu-satunya alternatif terbaik moda transportasi di kota-kota besar
seperti Jakarta dan Surabaya. Bahkan penguasa membentuk dan memobilisasi
kelompok-kelompok, termasuk tukang becak, demi kepentingan perang
melalui pusat pelatihan pemuda, yang mengajarkan konsep politik dan
teknik organisasi.
Becak dilarang untuk beroperasi di Jakarta karena alasan tidak
manusiawi atas dasar Perda 11 Tahun 1988, yang di dalamnya tercantum
bahwa kendaraan resmi hanya kereta api, taksi, bis, dan angkutan roda
tiga bermotor.
Perkembangan selanjutnya
Becak setelah berkembang di Batavia/Jakarta kemudian berkembang ke Surabaya pada tahun 1940, Jawa Shimbun
[6]
terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke
Batavia akhir 1930-an. Pasca perang, ketika jalur dan moda transportasi
kian berkembang, becak tetap bertahan. Bahkan ia menjadi transportasi
yang menyebar hampir di seluruh Indonesia. Pada pertengahan hingga akhir
1950-an ada sekira 25.000 hingga 30.000 becak di Jakarta. Jumlah becak
membengkak dan pada tahun 1966 jumlah becak ada 160 ribu –jumlah
tertinggi dalam sejarah.
Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan aturan mengenai larangan total
angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, dan
mengadakan razia mendadak di daerah bebas becak. Kebijakan serupa
dilanjutkan oleh gubernur-gubernur berikutnya: Suprapto, Wiyogo
Atmodarminto, Suprapto, dan Sutiyoso. Becak dianggap biang kemacetan,
simbol ketertinggalan kota, dan alat angkut yang tak manusiawi. Di sisi
lain, becak juga mulai menghadapi pesaing dengan kehadiran ojek motor,
mikrolet, dan metromini. Pada 1980, misalnya, pemerintah mendatangkan
10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000
becak. Pemerintah ketika itu memprogramkan para tukang becak beralih
profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Bahkan pemerintah
menggaruk becak dan membuangnya ke Teluk Jakarta untuk rumpon, semacam
rumah ikan. Karena sulit, Gubernur Suprapto sampai bilang: “becak-becak
akan punah secara alamiah.”