Melihat tim yang telah menguasai sepakbola Italia dalam dua musim terakhir terdominasi oleh lawan di kandang sendiri merupakan pesan buruk untuk seluruh suporter di Italia.
Mengesampingkan isu historis, orang-orang Italia dan Jerman punya sejarah panjang cinta dan benci, dan meski warga Jerman akan tetap mengapresiasi seni serta masakan Italia, sekaranglah waktunya bagi masyarakat Italia untuk iri pada pencapaian Jerman -- dalam sepakbola.
Kendati terbilang kurang dari segi pemain bintang, stadion-stadion Bundesliga selalu terisi penuh, tiket dijual dengan harga terjangkau dan menonton pertandingan dapat menjadi aktivitas keluarga yang menyenangkan.
Di Italia, dengan beberapa pengecualian, kita masih melihat stadion yang sepi, dari pekan ke pekan. Ini tidaklah mengejutkan mempertimbangkan harga tiket masuk yang terinflasi dan fakta bahwa sepakbola Italia masih dikotori oleh holiganisme dan rasisme.
Pertanyaannya adalah: apa yang tengah dilakukan klub-klub dan federasi untuk memperbaiki situasi ini? Jawabannya: sebagian besar tak ada. Pekan terakhir Serie A (
giornata 31), contohnya, diakhiri dengan manajemen Inter dan Milan mengemukakan dugaan konspirasi hanya karena segelintir keputusan meragukan dari wasit.
Tudingan kenakak-kanakan pada wasit, federasi, dan tim pesaing, ketimbang membentuk barisan yang bersatu, dalam opini penulis merupakan problem sesungguhnya di jantung sepakbola Italia. Seperti kasus yang sering terjadi dalam politik, dibutuhkan segelintir orang baik untuk memperbaiki situasi, tapi mempertimbangkan keadaan sekarang, sulit rasanya melihat cahaya di ujung terowongan ini.
"Federasi dan klub-klub yang harus duduk bersama, menepikan ketertarikan personal dan bekerja sama untuk membangun kembali sepakbola Italia" |
Kembali ke perbandingan tadi, di Jerman juga mungkin ada pertempuran di antara klub-klub, tapi itu biasanya isu-isu minor yang ditangani dengan cepat. Ketertarikan umumnya adalah untuk mendorong produk Bundesliga, dan hasilnya kini bisa dilihat semua orang: dua tim di semi-final Liga Champions dan liga yang sehat dan bergelora.
Liga Primer Inggris telah menunjukkan bagaimana cara mengatur merek sepakbola mereka dengan sukses selama lebih dari satu dekade. Tapi di bagian selatan pegunungan Alpen (Italia), hanya sedikit yang melihat perencanaan tersebut.
Di Italia, perubahan tak akan datang dari suporter ataupun media. Adalah federasi dan klub-klub yang harus duduk bersama, menepikan ketertarikan personal dan bekerja sama untuk membangun kembali sepakbola Italia.
Juventus, meski sukses di level domestik, harus ambil bagian dalam diskusi ini. Dominasi mereka di Italia jelas tak cukup bagi sebuah klub yang punya ambisi Eropa jelas, dan tim Serie A yang lemah membuat mereka terperanjat ketika berhadapan dengan
superpowerEropa seperti Bayern Munich.
Alternatif lainnya adalah melanjutkan 'perang sipil' yang kekanak-kanakan ini, dan menghabiskan
midweek untuk menyaksikan tim-tim dari Jerman, dan sekarang juga dari Turki dan Swiss, memainkan laga semi-final ajang Eropa di stadion terisi penuh.